Siapa yang Pernah Janji Kalau Semuanya Bakal Gampang?


“We promise according to our hopes and perform according to our fears.”
François de La Rochefoucauld.

Adegan mengejar mimpi selalu dimulai dengan pagi hari. Menunggu, bersiap, naik angkutan umum, lalu disapa senyum matahari dan kepadatan lalu lintas pagi. Ada sesuatu tentang adegan ini yang selalu sukses membuat jantung saya berdetak, sepersekian detik lebih cepat dari biasanya.

Impiannya selalu ada saja. Delapan tahun lalu mungkin pekerjaan impian di ibu kota, beberapa tahun setelahnya mungkin harapan mendapatkan kehidupan yang ‘lebih baik,’ mengejar kesempatan terlibat kegiatan yang menginspirasi, kemudian di tahun ini menjejakkan langkah pertama demi impian lama yang sempat terlupakan.

Mungkin sebenarnya bukan terlupakan, tapi terlalu menakutkan. Yang selalu muncul hampir di setiap lamunan tapi tidak pernah terdesak untuk direalisasikan, sampai akhirnya dipaksa oleh keadaan. Sh*t, it’s a rhyme! Ha-ha-ha.


Ditolak dan gagal

Minimize your expectation to minimum or almost none, they said. Radiohead aja bilang, “no hope and no surprises, please.”

Tapi sejujurnya, ini semacam jargon dan coping method aja enggak sih? Coba tolong dijabarkan gimana caranya menghilangkan atau enggak punya harapan atau ekspektasi sama sekali? Walaupun udah berusaha sekuat apa pun, itu yang namanya harap selalu menemukan caranya untuk masuk ke rasa, ke pikiran. And we become hopeful without even realizing it. Kemudian keadaan berharap ini yang membuat makin, makin, dan makin takut gagal.

“Ya udah sih Stri, nothing to lose,” kalimat yang sahabat saya selalu lontarkan setiap kali saya selangkah mundur atau ragu. Iya sih, nothing, tapi enggak nothing banget. Untuk upaya mengejar impian ini ada banyak waktu, tenaga, uang, yang terbuang. Tapi yang termahal dari semuanya adalah keadaan berharap, walaupun ekspektasi sudah diminimalisasi sedemikian rupa, ketika gagal, tetap saja, broken.

“Jangan bilang iseng-iseng, bilang aja ikhtiar,” kata teman saya yang lain yang juga sedang mengejar impian, walau yang dikejar beda, keadaan berharap kami sama. Sejak bertemu dia, saya jadi lebih leluasa mengatakan apa impian yang sedang saya kejar saat ini. Karena awalnya saya melakukannya dalam rahasia, seakan takut ditertawakan kalau ketahuan sedang apa, lebih tepat lagi takut ditertawakan ketika gagal. Tapi seperti teman saya bilang, katakan saja sedang ikhtiar, bisa jadi jodoh, bisa juga enggak.

Tapi pun, ketika keduanya sudah diamini, tetap saja ketika gagal, langsung broken. Maju selangkah, mundurnya tiga langkah. Kegagalannya mungkin enggak besar, tapi kegagalan kecil ketika sedang mengejar sesuatu yang besar kan, pedih juga ya? Jadi overthinking, ‘kalau ini aja saya enggak lolos, ya mungkin yang nanti juga enggak akan dapat.’ Gitu aja terus berberapa malam. Sampai akhirnya punya tenaga buat maju lagi. Dan keadaan seperti ini berulang.

Sampai suatu pagi, dengan lunglai karena kebetulan sedang kena diare dan maag gara-gara sarapan cheese tart dengan perut kosong, saya sadar. Memangnya siapa sih yang pernah menjanjikan saya kalau hidup bakal gampang? Bakal memberikan apa saja yang sama mau? Bakal berjalan seperti yang saya rencanakan? Dengan mindset ini, sekali lagi, saya maju satu langkah. Dan akan terus maju sampai benar-benar gagal, atau siapa tahu, berhasil.

Dan kali ini, enggak bisa lagi memakai lirik The Smiths, “please, please, please, let me get what I want. God knows it will be the first time.”

Karena jujur saja, udah keseringan. And God knows, it won’t be the first time. 



Comments