Separuh Hidup yang Saya Lewati Bersama Linkin Park dan Suara Chester Bennington



Berharap dia enggak mengakhiri hidupnya mungkin egois. Tanpa pernah tahu apa yang dia alami atau rasakan, bahkan tanpa pernah berkenalan. Secara personal mungkin tidak, tapi sejak usia belasan, dia yang selalu menemani saya di jam-jam hening di mana hanya ada saya dan pikiran saya. Yang mana, dia tampaknya paham betul tentang apa yang saya rasakan, tanpa pernah saya ceritakan.

*

If they say
Who cares if one more light goes out?
In the sky of a million stars
It flickers, flickers
Who cares when someone's time runs out?
If a moment is all we are
Or quicker, quicker
Who cares if one more light goes out?
Well I do


Saya masih ingat bagaimana perasaan saya ketika pertama kali melihat video klip Crawling di MTV, sekitar tahun 2000 waktu itu saya masih SMP. Dari beberapa musik yang saya dengarkan di awal penelusuran saya terhadap musik, adalah Linkin Park. Hybrid Theory adalah salah satu kaset yang saya pinjam dan kami edarkan bergiliran sambil diskusi pendek ala-ala, mengingat usia kami waktu itu bukan hanya pengetahuan musik tapi database kata sifat yang kami miliki juga belum kaya.

Satu hal yang pasti, band Amerika satu ini ‘in’ banget di kalangan saya dan teman-teman. Era yang sama di mana saya mulai mendengarkan band kecintaan saya lainnya, Thirty Seconds to Mars dan beberapa band lainnya.

Di kelas tiga SMA, saya pernah jadi bahan tertawaan satu kelas, gara-gara Linkin Park. Pelajaran setelah istirahat, Sosiologi kalau enggak salah, bukan hanya ngantuk karena sudah siang, cara gurunya mengajar juga membuat saya bosan. Pak Endang ini orangnya baik dan ramah sekali, dia suka bercerita sambil duduk di mejanya, kadang hampir selama jam pelajaran.

Walaupun hatinya baik, tapi dia enggak bisa membuat saya tertarik sama pelajarannya. Beberapa teman saya yang duduk di belakang memilih tidur, ada juga yang baca komik atau mengerjakan tugas pelajaran lainnya. Saya memilih untuk sembunyi-sembunyi mendengarkan Walkman, putar mix tape lagu-lagu kesukaan yang direkam dari radio, pada masanya ini keren banget dan menunjukkan skill tinggi baik dalam hal memilih musik ataupun teknis menekan rec dan stop radio di detik yang tepat.

Awalnya modus pura-pura tiduran sambil baca buku untuk menutupi earphone ini berjalan mulus. Sampai teman sebangku saya menepuk lengan saya dengan cukup kencang. Ketika mengangkat kepala dari buku ternyata mata sekelas menuju ke saya, temasuk Pak Endang yang waktu itu hanya tersenyum. Yang lain menertawakan, sementara saya bingung masih belum sadar apa yang terjadi. Setelah teman sebangku saya cerita baru saya paham.

Ternyata saya nyanyi reff Crawling lantang sekali, sepenuh hati. Saking kerasnya volume Walkman, saya bahkan enggak bisa mendengarkan lengkingan suara sendiri. Bahkan sampai sekarang saya masih merasa malu kalau mengingat pengalaman ini. (Pak Endang, maaf yah).


Crawling in my skin
These wounds they will not heal
Fear is how I fall
Confusing what is real





Something deeper inside


Tapi bukan pengalaman itu yang membuat saya hari ini, 21 Juli 2017, merasa terkoyak di bagian ulu hati. Beberapa teman memberitahu saya kalau vokalis Linkin Park, Chester Bennington meninggal, diduga bunuh diri, di usia 41 tahun. (I started to listen to his voice when I was 14 and he died at 41). Mereka memberi tahu saya karena tahu saya suka Linkin Park, khususnya Chester dan karena saya juga sedang social media detox.

Saya mulai mengikuti musik mereka di era BSM (before social media) dan sebelum internet jadi bagian hidup sehari-hari. Koneksi yang saya dapatkan dari mereka 90% dari musik dan 10% dari secuplik acara musik di MTV atau berita di majalah. Dan saya juga waktu itu tidak merasakan urgensi untuk tahu kehidupan pribadi sang musisi, tidak seperti sekarang.

Pada masa itu, musik mereka sudah cukup sebagai medium komunikasi dan saya tidak pernah meminta lebih. Kecuali ketika di 2004 beberapa teman bisa nonton mereka live di Jakarta dan saya hanya gigit jari. Minta ijin untuk pergi ke luar kota tanpa orang tua dan minta uang untuk beli tiket konser rock itu mustahil bagi saya.

Anyway, lirik selalu jadi bagian penting dalam musik bagi saya. Mayoritas lagu yang sukses masuk ke dalam playlist perjalanan hidup saya pasti memiliki lirik yang deep, walaupun bagi sebagian orang mungkin lebih ‘disturbing.’ Sehingga sejak kecil saya banyak menuliskan lirik lagu di buku harian, beberapa dengan bahasa Inggris yang banyak error-nya. Maklum, pada masa itu kalau mau menuliskan lirik lagu dan enggak punya kasetnya, harus nulis sambil mendengarkan, another must have skill for my generation. Looking back, ini banyak membantu saya belajar bahasa Inggris yang akhirnya sangat bermanfaat dalam hidup.

Dan bagi saya, yang ketika itu beranjak remaja, dengan segala macam persoalannya, lirik mereka banyak membantu saya menemukan perspektif, perlindungan, dan teman senasib sepenanggungan. Karena bagi saya mustahil seseorang bisa menulis sedalam itu tanpa benar-benar merasakannya. Tema yang mereka bawakan juga sangat relevan bagi saya yang merasa outcast, not good in blending in, money problem, introvert yang sulit mengungkapkan perasaan, dan khususnya saat itu my home was a wreck.


I wanna heal, I wanna feel like I’m close to something real
I wanna find something I’ve wanted all along
Somewhere I belong




Bahkan ketika itu pun saya banyak menulis karena tidak tahu harus bercerita pada siapa atau mulai dari mana. Kalau ngomongin cowok atau patah hati sih gampang, tapi ngomongin sesuatu yang lebih pelik dari itu? Ngomongin keluarga dan masa depan? Saya pendam dan mencari pelarian dalam musik dan lirik. Dan Chester paling mengerti kegundahan hati saya sekaligus bisa mengobatinya. I cannot imagine my life at that time without music.

Bukan hanya Crawling, lagu-lagu di beberapa (enggak semua) album mereka yang selanjutnya, Meteora (2003), Minutes to Midnight (2007), dan A Thousand Suns (2010) juga banyak bersarang di otak dan di hati. Dan walau kadang enggak semua lagu dalam albumnya saya suka, saya selalu menunggu musik terbaru mereka. Dan saya rasa ini wajar, mereka mengajarkan saya untuk menerima mereka sebagai artist yang selalu growing dan berubah, sama kayak kita aja sih sebagai pendengarnya.


Don't be afraid, I've taken my beating, I've shared what I've made
I'm strong on the surface, not all the way through
I've never been perfect, but neither have you






Screaming together for the first and the last time

Langsung ngetik setelah konser, biar enggak lupa.

Kaosnya emo banget, pada masanya.

Dan di 2011 akhirnya salah satu impian saya terwujud, nonton mereka live di Jakarta. Saya dan Irfan (masih pacar ketika itu) berkesempatan nonton bareng, tapi karena saya sambil liputan kami nonton di section yang berbeda di Gelora Bung Karno. Tapi karena kami sama-sama suka sama LP, enggak masalah kami nontonnya terpisah. Saya masih ingat atmosfernya dan perasaan lega meneriakkan lirik-lirik yang selama ini saya tulis bersama orang-orang yang menciptakannya untuk saya.

We did enjoy the concert very much. I cried a lot and people stared a lot too. I couldn’t care even for a bit, because there they are, my teenage idol, my one of most favorite musician, playing the song of my life in front of me. And boy, how I screamed my guts out that night!

Dan sesungguhnya, walaupun saya kurang suka dengan musik (liriknya sih suka) album terbaru mereka One More Light, saya masih berharap kalau mungkin saya akan lebih bisa menikmati album mereka setelah ini. Little that I know, album ini jadi album terakhir Chester.

Saya dan seorang teman sesama fans diskusi pagi ini, ke depannya LP bakalan gimana. Apakah mereka akan bubar, mencari vokalis baru, lalu gimana tur mereka yang sedang berlangsung? Tapi keputusan apapun yang mereka ambil nantinya, it will never be the same. For me, it’s like the end of something that has been a part of my life, half of my life.

Your thoughts, haunts you no more.
The monster, chase you no more.
You are at peace.
With your best friend.
:)




Comments