Pengalaman Perempuan Banyak Mikir & Banyak Maunya Solo Trip ke Bali



“Tya, kamu itu harus berani sendirian. Kita lahir sendirian, nanti mati juga sendirian. Jadi kamu harus bisa nunggu angkot sendirian,” kata saya. Kurang lebih begitu, deh. Saya ucapkan ke salah satu sahabat saya, waktu itu kami kelas satu SMA. Sebenarnya saya sudah lupa kejadian ini, kemudian beberapa bulan lalu diingatkan kembali ketika saya berkunjung ke rumah Tya, di Bandung.

By the way, kejadiannya saya bisa ngomong gitu adalah Tya mau pulang duluan dan minta saya menemani dia nungguin angkot. Saya yang ketika itu percaya kalau cewek itu harus bisa ngapa-ngapain sendirian, kesal. Dan malah bikin Tya kesal juga, dipikir-pikir, ya enggak gitu juga kalik statement-nya, ha-ha-ha. Darah muda.

Thinking back, saya memang cukup menikmati kesendirian. Waktu SMP, saya sering duduk di bawah pohon melamun sendirian, kadang sambil menulis puisi. Rangga banget enggak sih? Waktu SMA saya suka sengaja terlambat di pelajaran tertentu supaya dihukum dan disuruh ke perpustakaan, di sana saya bisa baca buku puisi selama dua jam mata pelajaran. Jangan tanya lagi deh kalau jaman kuliah. Walau saya suka sekali nongkrong, tapi banyak waktu yang saya habiskan sendirian. Misalnya jalan kaki dari kampus di Jatinangor sampai pintu tol Cileunyi, to think about things that now doesn’t really matter, ha-ha-ha.

Saya tahu saya menikmati time on my own, tapi ada satu hal yang belum pernah saya lakukan dan selalu ingin lakukan, solo trip. Di lingkaran pertemanan saya ada banyak perempuan yang biasa melakukannya. Dan saya kagum sekali dengan keberanian mereka. They are my role models!

Sehingga ketika Agustus ini saya punya waktu, saya bertekad mencobanya. Tapi, di tempat yang sudah cukup saya kenal dan di tempat yang memang affordable, namanya juga first trial. Jadilah saya pilih Bali sebagai destinasi. So I bought a one-way ticket, without any itinerary and only with one hostel reservation untuk menampung ketika saya tiba.


It was awkward at first

Canggu.

So awkward. Dalam artian bingung mau ngapain, kapan, dan gimana. Mungkin karena saya enggak membuat itinerary dan tanpa guide. Jadi hari pertama bingung mau ngapain, akhirnya saya chillax di Canggu. Leyeh sambil baca buku nunggu sunset lalu makan malam dan bobok.

Dari obrolan dengan Lea, sesama solo traveler, katanya seminggu pertama memang rasanya aneh. Tapi lama-lama bakal nikmatin banget being alone doing whatever we want. Dan dia menyadarkan saya kalau, “It’s a privilege that not everybody have,” kata dia. True that. Walau every now and then dia juga merasa homesick kangen Jerman dan kangen pacarnya yang lagi di Finland.

Ngobrol banyak sama seseorang yang kita temui on the spot bisa jadi salah satu perks of travelling alone. Walau enggak selalu mengalaminya, tapi ini satu hal yang enggak pernah saya alami kalau saya main sama teman-teman atau sama Irfan. Biasanya kita ya banyak ngobrol sama orang yang trip bareng sama kita aja, iya enggak sih? Tapi di trip ini saya menemukan diri saya banyak ngobrol sama orang apalagi karena saya beberapa kali memilih menginap di dorm hostel.

Bahkan ketika saya pindah ke private room homestay di dekat pantai Balangan, saya banyak ngobrol sama pemilik dan penjaganya. Karena di sana bukan dorm dan tamu lain nginepnya sekeluarga atau sepasang. So I realize that’s why solo traveler lebih memilih dorm. Lebih ada perasaan senasib sepenanggungan dan lebih banyak kesempatan buat ngobrol.

Walaupun enggak semua pengalaman ngobrol sama orang asing itu menyenangkan yah. Ada aja yang ngeselin. Yang membuat aku sepintas berpikir stereotype terhadap orang dari negara tertentu ha-ha-ha. Tapi kemudian sadar itu mah orangnya aja, jerk.

“Ati-ati Cil, digodain bule, inget kejadian di Kemang?” kata seorang teman. Jujur, lebih banyak digodain bule di Jakarta daripada di Bali. Semuanya santai aja, ngeliatin sunset. Ha-ha-ha. Dan mereka nyapa for the sake of being polite, kalau ngajak ngobrol ya pengen ngobrol aja ngisi waktu.

But yeah, bener kata Lea, after a week, things feels more natural. Saya enggak bingung lagi, ya suka-suka aja maunya apa saat itu juga dilakuin. Dan enggak merasa kalau orang-orang ngeliatin saya lagi just because I’m alone.


Believe people more

Gunung Payung.

Di trip kali ini satu hal yang saya belajar banget adalah belajar lebih percaya sama orang lain. Saya agak kurang ingat sih sejak kapan tepatnya saya sulit percaya sama orang. Tapi tinggal di Jakarta enggak banyak menghilangkan sifat saya yang satu ini. But being alone, saya ditempatkan di posisi di mana saya harus percaya untuk bisa lebih relax.

Pertama, saya percaya kalau seseorang mengajak ngobrol karena memang mau ngajak ngobrol, bukan mau menghipnotis. Kedua, percaya kalau seseorang menawarkan jasa karena dia memang sedang mencari uang yang halal bukan mau mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Ketiga, percaya kalau ketika saya percaya sama seseorang maka dia akan berusaha menjadi seterpercaya itu.

Berkali-kali saya meninggalkan atau nitipin tas ke orang di pantai karena saya mau berenang. Bertanya arah, atau menerima tawaran jasa mereka dan ngajak mereka ngobrol.

Seperti ketika di Pantai Gunung Payung ada seorang nelayan yang menawarkan sewa canoe-nya saya langsung bilang iya. Dan dia ngasih tahu beberapa hal soal pantai-pantai di Bali. Biasanya saya enggak mau tuh ditawari sesuatu yang enggak kelihatan ‘resmi,’ tapi kali ini saya pikir why not. Bapak ini (yang saya panggil Bli aja dan lupa nanya siapa namanya) cerita kalau makin hari ikan yang dia tangkap makin sedikit. Makanya kadang dia iseng sewain canoe atau mengajar surfing.

“Di Bali itu tenang, orang-orangnya enggak serakah. Asal cukup buat makan dan hidup, cukup,” kata pak Ketut salah seorang supir Uber yang mengantar saya dari Uluwatu ke Ubud. Perjalanan 1,5 jam enggak berhenti ngobrol, mulai dari lokasi wisata, harga tanah, sampai toleransi umat beragama di Bali. Yak, panjang.


Believe myself more

Green Bowl.

Hampir di setiap trip, Irfan selalu membawa bawaan paling banyak. Kadang di belakang punggung bawa backpack dia dan di depan backpack saya. “Sweet banget sih Irfan, bawain semuanya,” kata teman saya ketika itu. Memang sweet tapi di sisi lain memang necessary, karena kulit saya mudah ruam kalau bawa tas berat lama-lama, jalan saya jadi makin lambat, cepat capek dan kalau udah capek maunya diem males ngapa-ngapain, atau bete dan Irfan tahu itu. It’s also a privilege that I’m very thankful for.

Sehingga kalau trip sendiri saya selalu berusaha membawa sesedikit mungkin supaya keangkat. Dan trip kali ini karena belum tahu bakal berapa lama, bawaan saya cukup berat. Mungkin buat orang lain ringan, sih, he-he-he. Tapi saya tekadkan saya bakal kuat bawanya dan enggak akan cranky.

Kelemahan saya selanjutnya adalah transportasi. Enggak bisa nyetir dan enggak punya sim C walau bisa bawa motor matic. Akhirnya ketika di Balangan, saya sewa motor karena kalau jalan kaki jauh ke mana-mana, enggak kayak di Canggu. Dan di luar ekspektasi, saya bisa sampai ke berbagai pantai yang waktu tempuhnya mulai dari 15 sampai 45 menit dengan sepeda motor! Alih bisa karena terpaksa, yes?

Hal lain yang harus dilawan adalah takut. Di Jakarta yang paling saya takuti adalah orang jahat. Karena yang ini tereliminasi ketika saya di Bali, ketakutan lainnya adalah takut terjebak di dalam hal sulit sendirian. Misal, naik motor di jalanan sepi lalu ban bocor, yang mana saya alami dan ternyata baik-baik aja. Lalu, menyusuri jalan setapak di bukit yang sepi menuju pantai tiba-tiba mau pingsan, yang mana saya alami juga ketika di Nyang-Nyang. Tapi kemudian juga baik-baik saja. Saya pikir orang-orang yang sendirian itu kadang nekad, tapi ternyata kombinasi dari waspada dan mendengarkan tubuh sendiri yang menyelamatkan kita, dan saya dapat ini dari guru yoga. Strive for the best but listen to your body.


Believe in the universe

Melasti Ungasan.

Yang ini bakal terdengar klise. Tapi ketika sendirian dan di luar keseharian, saya lebih bisa mendengar bisikan semesta. Elah! Mungkin hasil pemikiran diri sendiri aja yah sebenarnya tapi kemudian dengan latar belakang yang magnificent jadi serasa penggalan paragraf di buku Paulo Coelho.

Tapi setiap kali saya overcome tantangan di depan mata, atau menemukan rasionalisasi atas permasalahan yang saya pikirkan, atau menemukan kebajikan dari hal sederhana yang biasanya terlewat begitu saja, saya merasa semesta menyapa dan memaksa saya menanggalkan kulit ari yang lama.

Menarik saya ke ketinggian di mana saya melihat masalah saya sebagai titik kecil. Membuat saya melihat semua penyesalan, kesalahan, dan ketakutan saya bagaikan fragmen yang saya tonton dan saya bukan bagian daripadanya lagi. Menyadarkan saya betapa ketika dunia terlihat begitu lambat, adalah kita yang terlalu cepat melesat. Kesemuanya adalah untuk dialami oleh kita yang terlahir di dunia. And all is well.

Males, kan, bacanya? Ha-ha-ha. Kan saya udah bilang, waktu SMP saya suka sekali nulis puisi. Masih ada lah sisa-sisanya.

Semua pengalaman yang kita alami, adalah hal personal yang mana mungkin hanya kita saja yang akan betul-betul merasakan manfaatnya. Di mata orang lain, tidak ada yang berubah. Dan pengalaman yang dirasakan orang lain belum tentu sama, bisa jadi buat sebagian orang solo trip itu sucks or mean nothing. Dan itu masuk akal banget. Karena saya percaya, there are no blue print to find our self or to find the person we want to be. You do what you need to do, the universe will tell you what you need to do, just listen.

Namaste.


Nyang-Nyang.






*PS: ini adalah tulisan pembuka, untuk akomodasi, how to dan spot di Bali yang saya kunjungi akan dipecah menjadi beberapa tulisan terpisah :D

Comments

  1. baca tulisan panjang gini, jadi pengen latihan nulis panjang juga.

    ReplyDelete

Post a Comment